BAB X
KRITIK SASTRA BANDINGAN
A. Sastra Bandingan dan Kritik Sastra
Sastra bandingan dan kritik sastra
adalah dua cabang ilmu sastra yang saling melengkapi. Pada suatu saat kritik
sastra membutuhkan sastra bandingan. Adapun sastra bandingan jelas menjadi
bagian awal kritik sastra. Kritik sastra yang mencoba menemukan orisinalitas
dan bobot karya sastra akan terkait dengan sastra bandingan. Bagimanapun sastra
bandingan merupakan tahap evaluasi sastra, yang dapat dijadikan sandaran kritik
sastra.
Selain hubungan sastra bandingan dan
kritik sastra, sebenarnya sastra bandingan itu sendiri butuh kritik.
Langkah-langkah sastra bandingan perlu dikritik, agar dalam melakukan kajian
tidak asal-asalan. Jadi, hubungan sastra bandingan dan kritik sastra selalu isi-mengisi.
Sastra bandingan digunakan oleh para ilmuwan sebagai media dalam proses kritik
sastra. Kritik sastra yang bagus tentu tidak sekedar menacad karya sastra,
melainkan mendudukkan persoalan secara proporsional. Dalam kerangka kritik
sastra, terdapat tiga proses penggambaran mengenai sastra bandingan.
1.
Pada mulanya, sastra bandingan dipakai untuk studi sastra
lisan. Seperti cerita-cerita rakyat, legenda, dongeng, dan sebagainya,
diperlukan bandingan untuk menemukan versi yang tertua atau asli. Pada proses
ini, sastra lisan dibandingkan dengan sastra tulisan atau sastra lisan yang
lain. Ada yang berpendapat bahwa sastra lisan hanya mengandung nilai-nilai
budaya, adat istiadat tanpa unsur estetika. Namun, justru pendapat ini keliru.
Karena, banyak karya sastra tulisan golongan atas yang mengambil tema dari
kesusasteraan rakyat sehingga meningkatkan status sosial. Jadi, sastra
bandingan bukanlah hanya menyangkut sastra lisan secara khusus.
2.
Pada proses ini, sastra bandingan mencakup studi hubungan
antara dua kesusasteraan atau lebih. Dalam hal ini, masalah yang timbul adalah
mengenai masalah bandingan karya-karya sastra. Misalnya, bandingan karya sastra
Inggris dan karya sastra Perancis. Bandingan mengenai ketenaran, pengaruh, dan
sebagainya. Namun, hal ini pula menjadi masalah baru yakni menjadikan para
ilmuwan bosan berurusan dengan fakta, sumber dan pengaruh.
3.
Pada proses ini, sastra bandingan disamakan dengan sastra
menyeluruh. Namun, Paul van Tieghem mencoba mengkontraskannya. Menurutnya,
sastra umum mempelajari tentang gerakan dan aliran sastra yang melampaui batas
nasional. Sedangkan sastra bandingan mempelajari hubungan dua kesusasteraan
atau lebih. Tetapi, hal ini pun tidak bisa diterima begitu saja. Misalnya,
orang tidak dapat membandingkan kepopuleran karya sastra sejarah yang melegenda
dengan kepopuleran karya sastra umum di seluruh dunia.
Selain
perbedaan sastra bandingan dengan sastra umum, masalah lain yang timbul adalah
mengenai perbedaan antara sastra universal dengan sastra nasional. Sastra nasional
dianggap sebagai kawasan tertutup dibanding dengan sastra universal. Namun,
pada kenyataannya sastra universal sangat berkaitan dengan sastra nasional.
Seperti ruang lingkup sastra Eropa. Sastra yang membahas kesusasteraan Inggris,
Jerman, atau Perancis yang saling berkaitan mengenai sejarah, tema, bahasa dan
sebagainya. Jadi, untuk dapat menggambarkan kaitan dan peran sastra nasional
dan sastra universal, perlu diketahui sejarah sastra secara menyeluruh.
Sastra adalah suatu kegiatan
kreatif, sebuah karya seni. Sedangkan studi sastra adalah cabang ilmu
pengetahun khususnya yang menyangkut tentang sastra. Namun, tidak sedikit dari
ilmuwan-ilmuwan yang mengaburkan perbedaan ini. Ada yang berpendapat bahwa kita
tidak bisa mempelajari atau menelaah sastra jika tidak mencoba membuat karya
sastra seperti puisi atau drama. Pendapat tersebut memang ada benarnya, namun
seorang penelaah sastra hanyalah seseorang yang menerjemahkan hasil telaah
sastranya ke dalam bahasa ilmiah yang indah.
Adapun yang berpendapat bahwa karya
sastra juga mencakup hasil karya kedua atau second
creation seperti karya Walter Pater penyair Inggris abad-19 yang
mendeskripsikan karya Leonardo Da
Vinci, Mona Lisa, ke dalam tulisan. Padahal bagi kita itu hanyalah sebuah
tiruan dan bukan sebuah karya sastra. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa
sastra tidak dapat ditelaah. Tak lain hanya bisa dibaca, dinikmati dan
diapresiasi. Jika hal tersebut benar, lalu bagaimana sastra itu bisa
berkembang? Bagaimana sastra itu dapat diapresiasi jika tidak ditelaah lebih
jauh. Bagaimana seorang penyair bisa berkarya lebih baik lagi jika tanpa telaah
atau kritikan terhadap karyanya?
Mungkin yang diperlukan di sini
adalah pemahaman atau pendekatan terhadap seni, kekhasan sebuah karya sastra.
Lalu bagaimana caranya? Salah satu jawaban adalah dengan menerapkan metode ilmu
alam ke dalam studi sastra. Mulai dari asal, penyebab, kondisi-kondisi yang
mendukung terbentuknya sastra seperti kondisi ekonomi, sosial bahkan konsep
geografi bahkan biologi dalam menelusuri evolusi sastra.
Pendapat lain mengatakan bahwa
sastra tidak dapat terbentuk tanpa adanya sumbangan dari ilmu budaya. Ilmu alam
juga berperan dalam perkembangan studi sastra namun ilmu budaya juga sangat
berperan terhadap perkembangan studi sastra. Yang perlu diperhatikan adalah
tujuan ilmu alam berbeda dengan ilmu budaya. Banyak ilmuwan maupun sejarawan
yang berpendapat bahwa ilmu alam hanya mencakup fakta-fakta atau hukum-hukum
yang bersifat umum sedangkan ilmu budaya lebih memprioritaskan fakta-fakta yang
bersifat khusus atau individual.
Untuk membuktikan hal tersebut, kita
bisa memahami pendapat yang mengatakan bahwa kebanyakan orang menyukai
Shakespeare karena kekhasannya, bukan karena persamaannya dengan orang lain.
Jadi, karya sastra pada dasarnya bersifat umum namun juga khusus. Karya sastra
dibangun dari kata-kata yang bersifat ‘umum’. Karya sastra memang memiliki ciri
khas tertentu tetapi juga memiliki sifat-sifat yang sama dengan karya seni yang
lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa karya sastra dapat digeneralisasikan
sesuai periode tertentu atau sesuai dengan kesenian pada umumnya tapi dengan
memperhatikan kritik sastra dan sejarah sastra yang lebih memprioritaskan
kekhasan sebuah karya sastra.
B. Kritik Komparatisme Sastra
Dalam buku Modern Criticism and Theory (1988), Lodge menampilan sejumlah
wawasan kritik sastra dari para ahli. Mereka umumnya berpegang pada disiplin
masing-masing, antara lain ada kritik dari linguis, formalis,
post-strukturalis, feminisme, hermeneutik, resepsi, psikoanalisis, dan
dekonstruksi. Seluruh kritik yang muncul, hampir belum ada yang mengemukakan
masalah sastra bandingan. Hal ini menandai bahwa seakan-akan sastra bandingan
belum termasuk salah satu jalur kritik sastra.
Asumsi demikian tentu tidak benar,
sebab sastra bandingan justru mengakumulasikan seluruh paham keilmuan sastra
tersebut. Konsep sastra bandingan meluputi aneka studi sastra yang lain, mulai
dari struktural sampai post-struktural. Oleh sebab itu, kritik sastra bandingan
menjadi lentur dan luas. Kritik sastra bandingan memang tidak bisa dihindarkan.
Apalagi sastra bandingan itu memang sebuah ranah disiplin yang masih mencari
format. Perdebatan sengit dalam rangka menemukan rumusan sastra bandingan
terus-menerus dilakukan oleh berbagai pihak, dan sampai kini belum berakhir.
Lewat tulisan Madiyant (Kedaulatan Rakyat, 22 Agustus 2004) yang waktu itu
beriringan dengan Konferensi
Internasional Sastra HISKI di Menado, sempat terjadi silang pendapat dengan
saya. Saya waktu itu memang tidak dapat hadir ke Menado, karena alasan sepele
(baca:finansial), tetapi tetap saya riuhkan dengan polemik hangat sastra
bandingan. Menurut hemat saya, konsepsi sastra bandingan itu sendiri masih
heboh.
Kata teman saya Madiyant, yang dengan
gigih mengintai aspek historis sastra bandingan, katanya khasanah sastra
bandingan mengenal percabangan dua aliran utama yang cukup berpengaruh, yakni
aliran Amerika dan Perancis. Adanya dua aliran ini sesungguhnya, menurut Saman
(1986), mengisyaratkan aspek metodologisnya secara praktis mengalami kondisi
yang sama. Bila aliran Amerika lebih menitikberatkan pada aspek bandingannya -
sesuai dengan namanya comparative
literature - maka aliran Perancis cenderung memilih aspek sastranya, sesuai
pula dengan penamaan litterature comparee. Gagasan ini memang
bukan hal baru, melainkan sejak Wellek dan Warren (1989), disusul Ikram, dan
Hutomo menulis sastra bandingan, telah terjadi arus yang berbeda.
Kedua aliran tersebut tidaklah
saling mengungguli, meski beberapa ahli mencoba membawanya ke dalam suatu
perdebatan untuk menemukan kata sepakat tentang teladan yang harus dianut dalam
sastra bandingan. Kegagalan perdebatan ini, jika dapat dikatakan demikian,
sebenarnya dimacetkan oleh inti faham disiplin yang pada abad ke-20 kemarin
menemukan kepaduannya yang integral: komparatisme.
Kalau boleh saya komentari, istilah komparatisme ini memang lama-kelamaan
kurang begitu dihiraukan oleh banyak pihak. Oleh karena, perbedaan aliran yang
diperlebar hanya akan menghasilkan kepicikan dalam studi sastra bandingan.
Meski demikian perdebatan ini masih
menyisakan pertanyaan penting tentang wilayah komparatisme itu sendiri: apakah
la litterature comparee ataukah les
litteratures comparees, saya cenderung
mengabaikan, sebab keduanya sama-sama memiliki alasan penting. Keduanya sebenarnya memiliki alasan
untuk memahami sastra secara totalitas. Jika yang dipilih adalah bentuk tunggal
(la), maka sastra akan dibandingkan dengan apa? Apakah sastra dengan sastra itu
sendiri? Ataukah dengan suatu ekspresi lain di luar sastra? Apakah jika
demikian kelak sastra bandingan akan sedataran dengan sastra umum? Tentu saja
tidak demikian, karena masih sering terdengar di ruang-ruang kuliah dibicarakan
sastra umum dan bandingan. Selain itu pula, jika dirunut dalam ekspresi
Inggris, Italia, Jerman, Perancis, atau Jepang (yaikaku bungaku), sastra
bandingan tampaknya lebih memihak pada bentuk tunggal.
Jika Jerman memakai istilah uergleiehende Literatur `sastra
pembanding' dengan tekanan pada participe
present, maka Italia dan Perancis lebih memilih pada tekanan participe
passe: litterature comparate, atau litteratures comparees. Di satu pihak
Amerika dan Inggris lebih memilih istilah
comparatiue literature tanpa ada penekanan pada present atau passe. Menyikapi
debat demikian, saya cendnerung pada
gagasan Corstius (1968) dan Gifford (1993) yang cendrung mengistilahkan comparative literature sebagai paradigma
berpikir. Istilah terakhir ini saya pikir ranah yang tidak terlalu berlebihan untuk mendudukkan persoalan sastra bandingan
dalam konteks luas dan sempit.
Kritik terhadap teori dan wilayah
garap sastra bandingan selalu muncul tiap saat. Apalagi di beberapa negara
memang sering memiliki tekanan bandingan, hingga dapat memunculkan spekulasi
yang tajam. Satu hal yang kemudian tampak pada pilihan Italia, Amerika, dan
Inggris adalah aspek metodologisnya bertumpu pada komparatisme (uergleichende, comparate, comparative).
Dalam arti ini, negara-negara tersebut konsisten untuk melihat disiplin ini
sebagai suatu tindakan membandingkan, di pihak lain memandang sastra sebagai
fenomena terbandingkan. Namun demikian, beberapa ahli masih juga memperdebatkan
kewilayahan sastra bandingan dengan sastra umum dan sastra dunia. Goethe
misalnya, dalam couersations auec Eckermann,
mengungkapkan istilah Weltliteratur
yang dalam bahasa Inggris dapat dipadankan dengan world literature, dalam bahasa Perancis menjadi litterature universelle, dan dalam
bahasa Rusia mirovila literatura.
Namun, di Rusia, padanan tersebut tidaklah berpautan secara utuh dengan sastra
umum atau sastra bandingan karena semua (karya) sastra (asing) yang dibaca pada
akhirnya disejajarkan dengan sastra nasional.
Jika posisi yang dipilih seperti itu
maka persoalan pengaruh akan menjadi kajian utama. Pemilihan posisi ini sendiri
sebenarnya diawali oleh kekeliruan mendudukkan sastra umum sebagai bentangan
sejarah, sehingga akan muncul kesan semau-maunya dengan, misal, membandingkan
sastra Jawa kuna dengan sastra modern India, atau sastra modern Indonesia
dengan sastra Yunani kuna. Sastra umum memang tidak boleh ahistoris, dengan
kata lain sejarah yang menjadi pokok pohonnya adalah sejarah sastra itu sendiri
dengan selalu memperhitungkan tradisi-tradisi sastra yang hidup di dalamnya
sekaligus mencatat invarian-invarian yang muncul secara bersamaan dengannya,
atau justru membangun sejarah sastra dengan teori genre. Dari posisi terakhir
inilah dimungkinkan direntang, misalnya, sejarah teater (Mesir kuna, tragedi
Yunani, tazieh Iran, Racine, Elisabethan, Kabuki, kethoprak Jawa, dst).
Ringkasnya, antara sastra umum dan sastra dunia dapat dipandang sebagai
usaha-usaha sintesis dalam pautannya dengan analisis-analisis yang dilakukan.
Namun demikian, keduanya tidak dapat disejajarkan dengan sastra bandingan karena
yang terakhir ini lebih mengkhususkan penelitiannya pada sastra-sastra
nasional, yang menjadi bagian dari sastra dunia, tetapi tujuan yang dicapainya
adalah untuk membangun suatu sastra umum dan membangun suatu teori umum tentang
sastra. Metode komparatisme, dalam hal ini, adalah jalan yang memberi peluang
untuk mengantarkan dari suatu kajian secara analitis sangat sistematik pada
setiap sastra (nasional) untuk menuju kajian sintesis sastra secara umum.
Komparatisme memang tidak lahir di
abad ke-20, tidak pula di akhir abad ke 18. Ahli-ahli komparatisme Eropa
cenderung mengatakan komparatisme semestinya terlahir di Abad Pertengahan, jika
mengingat cukup banyak kajian yang melihat sastra di abad-abad itu begitu bebas
berlalu lalang tanpa mengenal batas-batas geopolitik maupun batasbatas
ekspresi. Seperti yang dilakukan Montesquieu yang membandingkan berbagai bahasa
berdasarkan unsur bunyinya, atau usaha-usaha yang dilakukan Voltaire yang
mencoba memisahkan antara puisi-puisi yang murni epik dengan yang bukan
(artinya puisi yang semata-mata dikutip dari adat kebiasaan suatu masyarakat
atau dicomot dari cerita-cerita relijius). Atau usaha yang mencoba menggugat Gilgamesh bukanlah epos khas Perancis
karena merupakan hasil terjemahan dari teks-teks Arab yang di saat bersamaan
teks yang sama terdapat pula pada bahasa-bahasa Sumeria, Babilonia, Assiria,
dan seterusnya. Jika ingin ditarik lebih jauh ke kurun waktu yang lebih silam,
maka komparatisme sudah dikerjakan orang sejak awal-awal abad masehi, karena di
masa itu kitab Pancatantra mulai
diterjemahkan ke dalam bahasa Persia dan salinannya dikirimkan ke seluruh
Eropa. Dari hasil salinan inilah kelak Esope, pendongeng Yunani yang terkenal
itu, menjadi bapak dongeng Eropa karena berhasil melahirkan pendongeng-pendongeng
masyhur seperti Jean De La Fontaine dan telah melahirkan dongeng mundial 1001 Malam. Sementara itu, sebelum Pancatantra diterjemahkan ke
bahasa-bahasa di luar Pali, dinasti Mataram terlebih dulu memvisualkauya
menjadi relief-relief Borobudur, Mendut, atau Sojiwan. Pada kurun waktu
berikutnya para pujangga Jawa bergerak lebih jauh, yakni memvisualkan Kakatuin Arjunawiwaha pada
dinding-dinding dan sejumlah candi di Jawa Timur, atau mengangkat epos Mahabharata dan Ramayana ke atas
panggung wayang kulit dan sejak itulah kedua epos tersebut menjadi ruh seni pertunjukan wayang yang tak teringkari
lagi sebagai seni teater khas Indonesia.
Pertanyaan yang patut diajukan
kemudian: apakah komparatisme senantiasa harus dipertautkan dengan agenda
perjalanan sastra-sastra adiluhung? Jika tolok pemikiran yang akan ditempuh
seperti ini, maka tak akan pernah ada sastra yang benar-benar nasional yang
didasarkan pada teori keterpengaruhan adalah jantung komparatisme. Untuk alasan
ini kelak rezim-rezim fasis dan totaliter stalinian dan Hitler melarang semua
bentuk komparatisme sastra, seni dan sains. Komparatisme, alasan yang diajukan
rezim-rezim itu, hanyalah akan menafikan nasionalisme. Tidak mengherankan jika
kemudian Lukacs dan Fadieiev dikutuk karena mempraktikkan komparatisme sastra.
Kutukan itu sebenarnya ingin menjelaskan bahwa seorang kosmopolit identik
seorang borjuis. Sama halnya yang dilakukan Pramcedya dengan kawan-kawannya
saat mengganyang Hamka dengan Di Bawah
Lindungan Kabah dan Mohtar Lubis
dengan Jalan Tak Ada Ujung. Kedua
pengarang ini dituduh telah mengimpor
(baca menjiplak) nasionalisme Arab (Hamka) dan nasionalisme kapitalis (Mohtar
Lubis - romannya tersebut dituduh mengadaptasi sebuah cerita film Amerika).
Pada masa-masa seperti itu
komparatisme sastra, di negara-negara yang sedang asyik membangun ideologinya,
belum memasuki kurun idealnya. Usaha-usaha yang dilakukan para komparatis
sastra Eropa dan Amerika untuk merangkul Eropa Timur, Rusia, dan Cina barulah
menunjukkan tanda-tanda menggembirakan ketika pada 1962 Kongres Komparatisme
Internasional di Budapes dihadiri oleh sejumlah sarjana sastra dari
negeri-negeri komunis. Hanya Cina dan Albania yang tidak mengirimkan wakilnya.
Pertemuan internasional ini sekurang-kurangnya telah menyepakati arah pemikiran
problematika, metodologi dan masa depan komparatisme sastra itu sendiri.
Sementara itu, secara diam-diam Cina
sudah mengkampanyekan komparatisme sastra sebagai disiplin baru yang
menjanjikan cakrawala baru. Pada tahun 1982, misalnya, jurnal Litterature Chinoise No.3 menyajikan
hasil-hasil penelitian Qian Zhongshu yang mendasarkan diri pada teori Jean
Marie Carre sehingga tidak mengherankan jika Qian Zhongshu melihat komparatisme
sastra sebagai suatu keterhubungan, sebagai suatu perjalanan genre dan perubahannya
di negeri yang dikunjunginya, kemudian dari tahapan ini ia beranjak ke kajian
hubungan keterpengaruhan dan kajian pararelisme sastra dengan ekspresi seni
lainnya. Penelitian Qian Zhongshu ini kelak diikuti oleh Mao Dun yang pada 1980
menerbitkan hasil penelitiannya tentang teater-teater asing di Cina Ze Theatre
etranger en Chine'. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian-penelitian itu
memang cukup menggembirakan karena sastra Cina dan Barat ternyata saling
menyuarakan hal yang sama. Dengan kata lain yang ingin ditandaskan dari
kesimpulan tersebut: bahwa pengarang Barat dan Cina sama-sama tukang jiplak.
Meski kemudian oleh para komparatis Cina pernyataan itu diluruskan: bahwa
selalu terdapat kaidah-kaidah yang sama pada sastra-sastra yang dilahirkan dari
bangsa-bangsa yang berbeda. Dengan cara ini kelak muncul pengakuan dan
pemahaman bahwa kajian komparatif sastra yang menuntut tingkat kecerdasan
tertentu, mendudukkan komparatiame sebagai usaha terbaik dalam menjelaskan
partikularitaspartikularitas setiap sastra. Artinya, jika ada tuduhan bahwa
suatu sastra nasional dipengaruhi oleh sastra nasional yang lainnya, cara yang
sebaik-baiknya ditempuh tidaklah seperti yang dilakukan Hitler atau Stalin,
yakni solusi politik, tetapi melahirkan sebanyak-banyaknya kajian-kajian
komparatif.
Kritik yang banyak dilontarnya pada
komparatisme, tidak hanya menyangkut aspek historis. Munculnya komparatisme
sebenarnya tidak terlalu penting. Yang penting sebenarnya ada apa di balik itu
semua. Menurut hemat saya, kritik yang paling utama harus dilontarkan adalah
bagaimana peran komparatisme bagi perkembangan keilmuan sastra. Apakah
komparatisme sekedar ingin mencari “kambing hitam”, ataukah memang ada tujuan
mulia.
Saya memandang, komparatisme sebuah
aliran keilmuan sastra yang layak dihargai, sebab bertujuan mulia. Komparatisme
hendak melacak “kecerobohan” atau sebaliknya “kecemerlangan” dalam cipta
sastra. Apakah pengarang tertentu hanya sekedar mencipta dengan dalih: (1)
adaptasi, (2) meminjam, (3) mencuri, dan (4) kreatif. Yang diharapkan dalam
berolah sastra tentu saja aspek kreativitas, agar menelorkan karya yang
betul-betul brilian. Melalui komparatisme, berbagai hal itu akan terkuak habis.
Komparatisme ke depan akan menjadi corong peradaban sastra.
C. Sastra Bandingan dan Perselingkuhan Sastra
Istilah “selingkuh” memang saya
adopsi dari hura-hura seksual. Kata teman-teman yang gemar memasuki gerbang
“selingkuh”, memang berarti selingan indah keluarga utuh. Perslingkuhan sastra
pun, kira-kira berarti demikian. Sedapat mungkin sastra dikoreksi, dibandingkan
satu sama lain, tetapi tidak meretakkan jagad olah sastra. Melalui sastra
bandingan yang bijak, tentu semua pihak akan dapat menerimanya.
Mencermati tulisan Mardiyant (KR, 22
dan 29 Agustus 2004), seakan melihat pelangi sastra bandingan (sanding) dengan kaca mata hitam. Gagasan
itu indah dan memang bernuansa teoritik-historis. Saya pun angkat topi, ketika
ide besar yang sering dilupakan orang itu diberi pengantar redaksi - sebagai
penyambutan Konferensi Sastra HISKI di Menado. Topik sanding HISKI itu sebelumnya sempat melalui perdebatan alot, ketika
pengurus mengadakan raker (rapat kerja) di Wisma Hijau Cimanggis beberapa waktu
silam. Pasalnya, pentingkah membahas sanding
di era sekarang ini?
Sayang sekali, apa yang disampaikan
Muslikh memang masih berupa kerangka konseptual. Biarpun konsepsi itu penting,
namun hal-hal praktis memang tidak kalah pentingnya. Hal ini, kemungkinan hanya
akan terpahami oleh pentolan-pentolan yang berkutat di jagad sastra , Perguruan
Tinggi. Padahal, sesungguhnya kalau komparatisme sastra itu akan berkembang
pesat, harus dimulai sejak SD dan pemerhati sastra otodidak - tentu saja dengan
penyederhanaan tingkat bandingan. Mengapa tidak? Jika hal ini mungkin
dilakukan, memang para begawan sastra (di Indonesia) harus bersiap diri - tak
lagi berkutat terus ke arah `refleksi sastra'.
Setahu saya, sastra bandingan tak
harus serumit konsep yang dibeberkan Muslikh. Apa yang dia sampaikan memang
cukup ideal. Namun, untuk sampai ke tataran itu, hingga mampu membangun sejarah
dan teori sastra berdasarkan sastra bandingan, mungkin masih jauh. Karena,
harus disadari sepenuhnya siapa sih ahli sastra di Indonesia ini yang memiliki track record ke arah sastra bandingan?
Para pemerhati sastra kita, umumnya masih `kacangan'. Jarang sekali, orang yang
mau menerjunkan dirinya ke arah satu bidang (disiplin sastra bandingan) saja,
karena dari sisi tertentu kurang menguntungkan.
Lebih dari itu, tampaknya
komparatisme sastra di negeri ini memang masih sering muncul dhatnyeng (dalam waktu tertentu saja).
Ketika orang hendak menyusun skripsi, tesis, dan sertasi sastra, mungkin sastra bandingan hadir. Itu saja belum terprogram
secara jelas apa fungsi sastra bandingan yang mereka lakukan. Ketika
teman-teman di beberapa rusan sastra melakukan kritik teks (semi sastra ban
yang berbau filologis - juga berhenti saja di rak perp takaan. Jarang sekali
karya sastra bandingan yang mun ke luar pagar akademik. Lagi pula, kalau objek
garap sekadar dua karya, dua periode, tentu sasaran ke de menjadi kurang jelas.
Kalau begitu, apa kita harus tunda jika dikatakan sastra bandingan kita masih
acak-acakan?
Forum Sanding memang pernah ada di FS (FIB) Universitas Indonesia
(1990-an) dan FIB UGM (2002-2003). Namun demikian, yang menjadi masalah hasil
sastra bandingan tersebut kadang-kadang tak dikomunikasikan kepada pihak yang
berkepentingan. Jika dokumentasi sanding
sekarang cenderung untuk memenuhi target rak buku atau sponsor, kiranya belum
akan menggugah semangat bersastra ke depan. Mustinya tujuan praktis sanding pun patut ditentukan secara
jelas. Tanpa tujuan yang segera berdampak pada olah sastranya sanding akan gagal menjadi sebuah `kapal
pejuang sastra'.
Jika sanding bertujuan untuk menyusun sejarah sastr teori sastra, kritik
sastra, memang bagus. Namun, tujuan semacam ini terlalu berat. Menurut hemat
saya, sanding negeri ini patut
diarahkan saja untuk menggairahkan olah sastra pengarang, penerbit, dan pembaca
- sudah lebih sukses. Kalau sanding telah
mampu mengentaskan `perselingkuhan sastra' di rumah sastra, warung-warung
sastra, dan kantin-kantin sastra,
telah layak dipuji. Paling tidak melalui forum sanding akan ditemukan beberapa pengaruh baik langsung maupun tak
langsung terhadap karya berikutnya. Pengaruh itu yang seharusnya dicermati,
sehingga ditemukan `perselingkuhan saatra' berupa: penyaduran, penjiplakan, dan
penyerobotan. Kalau melalui sanding
terlihat ada fenomena `kotor', barulah dilakukan sebuah `pengadilan sastra',
seperti yang pernah digagas mas Ragil Suwarno Pragolapati tempo dulu.
Atas dasar itu, barulah dapat
disimpulkan bahwa sanding memiliki
dampak yang positif dan bermakna. Yang menjadi problem, telah siapkah pengarang
dan kritikus sastra kita - menghadapi dampak sanding? Secara psikologis, siap mental atau belum pengarang dan
kritikus kita untuk mengiyakan gagasan Cortius dalam bukunya Introduction to the Comparative Study of
Literature - bahwa karya sastra itu sekadar himpunan karya sastra
sebelunmya. Belum lagi kalau kritikus dan pengarang harua dihadapkan pada
gagasan Glifford dalam bukunya Comparatiae
Literature (1993) bahwa dalam dunia sastra rentan aekali terjadi
penerjemahan, kesamaan tema, dan lain-lain. Sungguh tak berdaya kalau sudah
sampai terjadi demikian. Apalagi, kalau objek sanding adalah sastra klasi yang waktu itu ada hegemoni raja
(penguasa) untuk mener jemahkan, menyalin, membeli karya dan dianggap karyanya,
mengimpor, dan seterusnya - sanding
menjadi semaki ruwet. Jika objek ini dibandingkan, tentu kritikus sastra hanya
tercengang di kamar sendirian - hampir sulit untuk menimbang bahwa karya R Ng
Ranggawarsita tentang jaman edan itu
sebuah `impor' dari Serat Centhini karya
Pakubuwana V.
Dalam sastra modern, kadang-kadang
juga berpeluan sebagai rentetan benang sastra kuna (klasik). Katakan saja puisi Asmaradana karya Goenawan Mohamad
tampa memijarkan Babad Blambangan, pada adegan Damarwulan
dengan Anjasmara. Sajak Asmaradana karya
Soebagio Sastrowardoyo juga ada
persinggungan dengan kisah Rc mdyana
dan atau lakon wayang kulit Sinta Obong. Belum lagi karya-karya Linus
Suryadi AG, Suminto A Sayuti, Sapardi Djoko Damono yang banyak mengisahkan pewayangan jelas ada pengaruh dari karya
sebelumnya. Apakah kary yang lahir kemudian lantas harus dinyatakan sebagi
tulisan yang kurang orisinal, ini tanggung jawab seoran komparatis. Apabila
komparatis sastra mampu menur jukkan bukti-bukti, mengapa hal semacam ini
jarang terungkap sampai pada tingkat kritik yang konstruktif.
Persentuhan sastra internasional,
nasional, dan lokal pun amat sering terjadi. Bayangkan, ketika cerpen Abracadabra karya Danarto muncul
kritikus akan mengangguk-angguk. Padahal, kalau membuka-buka puisi AA Cummings, modelnya mirip. Berarti,
orisinalitas Danarto pun dapat diragukan jika dibanding tipografi AA Cammings.
Cerpen bahasa Jawa berjudul Win! Win!
Win! Karya Harwi Mardiyanto, ternyata juga hampir sama dengan tulisan
Afrisal Malna yang termuat di majalah Horison. Cerpen di Djaka Lodang berjudul Jumiyem karya MG Widhi Pratiwi ternyata
juga sejajar dengan cerpen terbitan tabloid Nova. Masih banyak lagi contoh
persinggungan karya, jika hendak diungkap dalam forum sanding.
Masalahnya, (telah) siap mentalkah
kritikus dan pengarang kita? Apabila kritikus juga masih berpegang budaya pakewuh (tak enak hati) jika harus
membicarakan compang-camping karya orang lain, mungkin tak sampai hati.
Sebaliknya, andaikata hal itu diungkap oleb kritikus, apakah tak akan
melahirkan intrik dan gugatan oleh pengarang? Karena, pengarang so pasti akan
beralibi adanya kebebasan berekapresi (licentia
poetica). Kecuali itu, pengarang mungkin akan berdalih lain yang lebih
masuk akal, ketika karyanya `ditelanjangi' lewat sanding.
Buktinya, ketika saya harus bicara
di Graha Pena Surabaya, membicarakan penyair Jawa yang terkena hembusan Chairil
Anwar (dan sebaliknya) - banyak yang brontak. Widada Bauki, penyair Jawa dan
cerpenis Shoim Anwar yang hadir waktu itu, menganggap biasa terjadinya
`perselingkuhan sastra yang saya muntahkan. Lalu, akan berhenti di sini sanding kita? Atau, sanding kita hanya akan menjadi `bacaan wajib' mahasiswa yang
kuliah sastra, sebagai wacana antik di kampusnya. Semestinya, sanding itu sebuah jalur indah, banyak
tantangan, sekaligus mengasyikkan untuk studi sastra: Sayang sekali.
Satu lagi sanggahan berkaitan
perkara di atas ialah kurangnya kebulatan sastra bandingan dengan kajian sastra
di luar sastra nasional. Sastra bandingan sebagai satu kajian belum mampu
mengembangkan sastra secara total. Tambahan pula, konotasi istilah sastra
bandingan justru sering menimbulkan masalah yang serius yang tidak sanggup
mereka hadapi. Dalam Bibliography of
Comparative Literature juga terdapat kekeliruan kriteria, ter-utama
bagian-bagian buku yang meliputi "Umum", "Tematologi" dan
"Genre Sastra", dalam bab 1 serta "Sastra Semasa" dalam
buku 3. Hal ini tidak didasarkan kepada judul dan isi, yang bersifat bandingan
daerah geografi yang dimuatkan dalam bibliografi ditentukan oleh perkara yang
diperbincangkan atau yang digolongkan dalam kesusasteraan. Banyak kajian
mengenai perkawinan, cinta, wanita, ayah-anak, anak-anak, dan sebagainya dalam
judul "Motif Pribadi", dan "Motif Kolektif" yang semuanya
tergolong ke dalam sastra nasional. Wajarkah diterima senarai begini ke dalam
sastra bandingan pada dua bidang - sastra dan motif? Perlu juga diingat bahwa
motif adalah sebagian dari kajian sastra yang bersifat intrinsik. Kita akui
bahwa dalam sastra bandingan, meletakkan biografi sebagai sesuatu yang agak
luas dan terbuka. Sastra bandingan jika berdiri sendiri hampirhampir tidak
bermakna.
Sesuatu yang menemui kebuntuan dari
segi penggolongan tidak seharusnya dimasukkan ke dalam sastra bandingan. Soal
membandingkan sastra dengan sesuatu bidang di luar sastra mestilah diterima
sekiranya berbentuk sistematik dan membedakannya dengan disiplin lain. Secara
kajian, kita tidak seharusnya menerima segala kajian mengenai kehidupan dan
seni sebagaimana digambarkan dalam kebanyakan kesusasteraan sebagai sastra
bandingan. Sebuah kajian mengenai sumber sejarah drama Shakespeare hanya boleh
diterima sebagai sastra bandingan sekiranya kajian itu berkisar di sekitar
kesusasteraan dan sejarah, di samping faktor-faktor sejarah dan adaptasi
kesusasteraannya dibandingkan dengan nilai secara sistematik serta rumusannya
yang masih lagi dalam lingkungan sastra dan fakta sejarah. Begitu juga dengan
Pere Goriol Balzac yang menganalisis fungsi sekiranya berhubungan dengan sistem
kajian secara osmosis kesusasteraan. Kajian tentang etik atau idea agama
Hawttiome atau Melville boleh dianggap bandingan sekiranya yang dibincangkan
ialah pergerakan agama contohnya Kalvanisme atau lain-lain kepercayaan.
Susur-galur sesuatu perwatakan oieh Henry James juga dalam skop sastra
bandingan sekiranya dilihat dari segi teori psikologi Frued (atau Adler, lung,
dan lain-lain).
Dengan hal-hal begitu sering
tersemat dalam ingatan, kita menyarankan konsep sastra bandingan Amerika.
Konsep ini pula tidak seharusnya mengongkong kajian kita: kesatuan teori sastra
bandingan itu lebih perlu dipertahankan. Kalau rumus-rumus sastra bandingan
sempit dan tidak pula berkaitan dengan disiplin ilmu kemanusiaan yang lain,
kajian ini tidak boleh tegak sendiri. Perbedaan-perbedaan yang wujud paling
minimum. Namun yang penting pada sastra bandingan ialah pengkaji, guru, pelajar
dan semua yang terlibat mendapat kesan yang lebih berarti tentang kesatuan
penghayatan sastra, bukan secara terpisah. Paling berkesan ialah menghubungkan
antara sastra nasional dengan yang lain, tetapi juga melibatkan disiplin-disiplin
ilmu yang lain ke dalam sastra terutamanya bidang estetik dan ideologi,
meluaskan kajian sastra secara geografis dan genre.
D. Problematika Definisi, Pengaruh, dan Konteks Sastra
bandingan
Sadar atau tidak, membicarakan
sastra bandingan justru akan lahir ribuan bahkan jutaan problem. Mulai dari
definisi, pengaruh, konteks, kesejarahan, konsep, dan tingkat praktik, sastra
bandingan penuh kerumitan. Kalau saya cermati, definisi Van Tieghem ini,
sekurang-kurangnya juga menimbulkan satu tanda tanya: kenapakah sastra
bandingan hanya mengkaji dunia sastra dari dua negara? Kenapa mesti kerja
membanding penulis-penulis Richardson dan Rousseau seperti yang dilakukan oleh
Erich Schmidt? Tidakkah istilah 'sastra bandingan' itu memadai untuk merangkumi
sintesis dari beberapa negara lain (seperti Outli
of Comparative Literature oleh
Friederich dan Malone) sebab sastra bandingan apabila memasukkan seorang seperti Goethe, telah jadi sastra umum?
Mungkin, semasa meletakkan kriteria
itu, Van Tieghem tidak memikirkan soal logik tidaknya, tetapi pembagiannya
saja. Soal-soal kreativitas, sejarah dan kerja kritikan itu sendiri amat luas
dan untuk dilaksanakan. Van Tieghem kawatir kalau-kalau kerja bandingan itu
terlalu membebankan dan tidak mungkin menggabungkan kajian lebih daripada dua
kesusasteraan nasional tanpa batasan seperti kecenderungan, kebolehan,
pengalaman dan pengkhususan dalam sastra bandingan. Tieghem mengharapkan agar
kumpulan sarjana menggabungkan pengkajian sastra nasional, dan sastra
bandingan.
Hipotesis Van Tieghem ini amat
jelas. Pengkaji-pengkaji sastra bandingan dan sastra umum akan merasa puas hati
dengan hasil kajian orang lain (sebagai tugas Herculean) yang tidak banyak
kaitannya dengan teks sastra yang tidak mendalam dan memperkecilkan sastra.
Buku-buku Van Tieghem menampakkan gejala ini. Lagi pula, Hazard, dalam dua
sintesisnya telah berjaya menyingkap kegemilangan satu jaman tanpa memperkecilkan
usaha orang lain.
Pembagian seketat yang dikemukakan
oleh Van Tieghem itu amat tidak bermanfaat. Pengkaji sastra nasional mestilah
meluaskan lagi perspektif kajian mereka dengan mengkaji sastra-sastra dan
bidang lain yang berkaitan dengan sastra. Pengkaji sastra bandingan pula
memastikan sebelah kaki mereka berpijak pada sekurang-kurangnya satu sastra
nasional agar bandingan yang dilakukan sering konsisten.
Semua istilah yang diperbincangkan
belum memberikan gambaran yang jelas. Ketumpang tindihan sering terjadi di sana
sini. Definisi dan perbedaan masih kurang jelas dan kurang berguna. Konsep
Amerika yang sering diterima agak lebih praktis. Penggunaan istilah sastra
dunia tidak boleh sewenang-wenang digunakan bergandengan dengan sastra
bandingan dan sastra umum. Adalah lebih baik kalau istilah sastra umum tidak
digunakan. Paling sesuai istilah-istilah seperti sastra bandingan, sastra
dunia, sastra terjemahan, sastra Barat, teori sastra, struktur sastra atau
sastra saja berdasarkan kesesuaiannya.
Setelah berpuluh tahun berlalu
sehingga bulan Januari 1971, belum
ada sesuatu perubahan positif yang dapat dicapai mengenai sikap sastra
bandingan. Perbincangan dan pertemuan yang berlangsung memang menambah senarai
bibliografi. Sekiranya data-data ini saya usahakan akan timbul unsur-unsur
untuk mempertahankannya, mengkritik dan mungkin menyetujuinya. Percakapan apa
dan bagaimana yang tidak boleh dalam sastra bandingan sudah terlalu lumrah;
terlalu banyak berteori, dan kurang praktis. Hal itu kurang menyenangkan sebab
sering muncul persoalan baru seperti metodologi yang masih menjadi masalah.
Perbincangan yang begitu banyak diadakan persis semakin menggelapkan lagi
keadaan. Selagi kita menganggap sastra bandingan bukan sebagai satu
profesionalisme, hal-hal seperti teori, definisi, struktur dan fungsi tetap
menghantui kita. Kita harus ingat bahwa teori berubah mengikut langkah praktis
dan begitu juga sebaliknya.
Sastra bandingan memang banyak
melahirkan intrik-intrik ke dalam jagad olah sastra. Tidak hanya masalah teori
yang belum mapan, definisi yang masih lemah, tetapi juga menyangkut aspek
manfaat. Dalam berbagai forum ilmiah sastra bandingan masih layak dipertanyakan
urgensinya bagi pengembangan ilmu sastra. Orang yang menekuni sastra bandingan
masih sering merasa kecil, dibanding menguasai ilmu sastra lain seperti
semiotik dan sosiologi sastra. Padahal kalau mau menyadari sebenarnya
penguasaan sastra bandingan justru merupakan ilmu tingkat tinggi dalam sastra.
Sastra bandingan justru akan membuka
wawasan studi multikultur. Sastra bandingan akan memberikan ruang baru bagi
pengembangan kritik sastra. Kritik yang bijak tentu saja tidak akan lepas dari
aspek penilaian karya sastra. Salah satu jalur penilaian karya sastra adalam
sastra bandingan. Konsep membandingan antara karya satu dengan yang lain, jelas
merupakan bentuk kritik tajam.
Studi sastra bandingan bermula dari
studi konvensi, tradisi, bentuk, dan isi sastra. Beberapa aspek studi ini
langsung atau pun tidak tak akan lepas dari konsep pengaruh. Karya sastra satu
dengan yang lain tak berdiri sendiri, melainkan terjadi persinggungan, terjadi
persentuhan, sehingga terlihat pengaruh sebagian atau pun keseluruhan. Konsep
pengaruh menjadi tumpuan sukses tidak seseorang terjun ke jagad sastra
bandingan. Kiranya hanya orang yang memiliki bekal keilmuan lengkap yang mudah
menangkap konsep pengaruh ini.
Pengaruh dalam karya sastra dapat
terjadi dalam bidang ekstrinsik dan instrinsik. Pengaruh ekstrinsik merupakan
muatan bidang-bidang lain yang masuk dalam karya sastra. Kedua unsur
pengetahuan tersebut, dapat dibandingkan secara terpisah atau pun secara bersama-sama.
Bandingan secara terpisah, akan mengaburkan makna totalitas karya sastra.
Sedangkan bandingan secara bersama:-sama akan banyak memakan waktu, sehingga
kalau tidak teliti juga akan berat sebelah.
Konsep pengaruh juga akan menjadi
kendala studi sastra bandingan, manakala kita ingin melihat pengaruh secara
historis. Apalagi, kalau karya tersebut telah berusia panjang, kita akan sulit
merunutnya. Bahkan, kita juga akan kesulitan untuk membandingkan konsep
pengaruh dengan sastra lain, apabila tidak cukup bahan yang kita miliki dan
bahasa kita terbatas. Konsep pengaruh didasarkan pada konteks
"pararelisme" dalam teks sastra. Jika suatu karya memiliki hubungan
pararel baik unsur instrinsik maupun dimungkinkan dapat diperbandingkan.
Sastra sebagai konteks menghendaki
studi sastra bandingan agar memperhatikan konteks sastra. Sastra sebagai
konteks adalah studi sastra bandingan dengan memperhatikan aspek-aspek lain
yang mengikuti karya sastra. Hal ini didasarkan asumsi bahwa karya sastra akan
menghadirkan dunia yang kompleks. Karya sastra telah dilahirkan melalui tradisi
sastra yang kuat, yang kemungkinan besar dapat menggambarkan konteks kehidupan
yang mengitarinya. Se-imajiner apa pun, se-fantastis apa pun, karya sastra
tetap membawa konteks lain. Karya sastra akan memantulkan pengalaman dan pengetahuan
lingkungan yang unik.
Implikasi sastra sebagai konteks
sangat luas, misalkan, kita dapat membandingan unsur dalam puisi dengan puisi
lain yang sejenis. Dalam kaitan ini, seorang penyair tidak dapat lepas dari karya
lain. Karena itu, dalam membuat baris, tipografi, muatan moral, dan lain-lain
akan mengindikasikan kepemilikannya. Sastra sebagai konteks dalam sastra
bandingan dapat diterapkan dengan membandingan konteks bentuk dan isi. Bentuk
karya sastra tidak akan lepas dari bentuk yang lain, begitu pula isinya. Dari
aspek bentuk, akan terungkap mana karya tradisional dan mana yang merupakan
pembaharuan, mana karya jiplakan dan karya orisinal. Mana karya yang sekedar
mosaik masa lampau dan inovasi, akan terlihat jelas. Sedangkan dari konteks
isi, akan tenrungkap mana karya yang sekedar "rekaman" masa lalu dan
karya kreatif: konteks isi, biasanya menyublim halus pada tema-tema.
Pengaruh yang paling rumit dilacak
adalah masalah konteks. Konteks sastra itu sebuah tafsir, hingga bisa
memunculkan keragaman makna. Konteks biasanya tak kasat mata, sehingga
membutuhkan kecermatan pengkaji sastra bandingan. Berbeda dengan pararel dan
varian tekstual, varian dan pararelisme konteks membutuhkan ketajaman
pencermatan. Kalau teks langsung dapat dilihat dan rasakan, konteks masih memerlukan
pendalaman.
Itulah sebab kritik yang paling
tajam dalam forum sastra bandingan adalah konteks. Manakala konteks gagal
mengemukakan konsep pengaruh, atau hanya setengah-tengah, akan melahirkan kecaman
bertubi-tubi. Oleh sebab itu, konteks perlu didukung data yang akurat. Konteks
seharusnya tidak lepas dari isi dan pengaruh serta tradisi sastra. Konteks itu
pula yang menandai secara halus, apakah ada persentuhan antar karya sastra atau
tidak. Persentuhan ide kadang-kadang amat tipis ke dalam konteks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar