STRUKTUR PUISI
A. Struktur
Puisi
Struktur puisi merupakan unsur-unsur yang
membangun puisi. Di dalam puisi terdapat dua struktur yang membangunnya.
Struktur tersebut disebut sebagai struktur fisik dan struktur batin. Dalam
melakukan
pengkajian dengan pendekatan struktural atau
objektif maka kedua aspek ini adalah aspek yang harus ditinjau.
Struktur
fisik merupakan struktur yang membangun puisi dari luar. Struktur ini cendrung
terlihat secara kasat mata. Struktur ini menurut Hikmat, dkk. terdiri dari wujud
puisi, diksi, kata konkret, gaya bahasa, dan citraan (2016: 20—37). Sebaliknya,
struktur batin merupakan struktur yang membangun puisi dari dalam, struktur ini
tidak terlihat secara kasat mata namun menjadi sumber dari ekspresi pengarang
dalam menyampaikan gagasannya. Struktur ini terdiri dari tema, nada, suasana,
dan amanat.
1. Struktur
Fisik
Di dalam
struktur fisik ini, semua unsur yang ada di dalamnya erat kaitannya dengan
bahasa sebagai alat utama dalam mengekpresikan perasaan pengarangnya. Mengingat
pengtingnya bahasa dalam puisi, maka di dalam Bab II akan membahas tentang hal
tersebut. Berdasarkan hal itu, maka dalam bahasan subbab ini akan disampaikan
secara ringkas saja mengenai aspek-aspek yang terdapat di dalam struktur fisik
puisi.
a.
Wujud Puisi
Wujud puisi pada umumnya menyangkut tiga aspek,
yaitu: judul, isi, dan titimangsa. Judul di dalam puisi di letakkan dibagian
atas puisi. Judul ini kadang disambung dengan subjudul yang di antaranya
menuliskan tentangkepada siapa puisi itu ditujukan atau puisi tersebut
menyangkut peristiwa apa.
Selanjutnya, isi puisi. Umumnya isi puisi
terdiri dari baris dan bait puisi. Baris merupakan satu deretan kata yang
tersusun secara horizontal. Sementara bait merupakan gambungan dari beberapa
baris di dalam puisi yang tersusun horizontal.
Terakhir, titimangsa. Titimangsa umumnya
menggambarkan dua aspek, tempat dan waktu puisi tersebut ditulis. Namun,
beberapa pengarang tidak menulis tempat mereka menulis puisi, lihat beberapa
puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Sutardji Calzoum Bachri. Untuk lebih jelasnya, dapat memperhatikan contoh
puisi Salemba karya Taufiq Ismail
berikut ini :
Judul --- SALEMBA
Titimangsa---1966
Ketiga aspek tersebut, tidak selalu ada,
terutama bagian titimangsa. Namun, titimangsa akan menjadi penting jika
berkaitan dengan penelitian sejarah perkembangan puisi. Aspek tersebut, menjadi
salah satu tolok ukur untuk mengetahui suatu posisi puisi di dalam kesusastraan
Indonesia.
Di sisi lain, bentuk isi juga kadang tidak
ditulis dalam baris-baris seperti contoh di atas. Ada yang membentuk seperti
cerita pendek, misalnya puisi-puisi Afrizal Malna, Joko Pinurbo, dan beberapa
puisi Sapardi Djoko Damono. Selain itu, beberapa puisi juga menyajikan isi
dalam bentuk gambar seperti beberapa karya Remy Sylado.
b.
Diksi
Diksi merupakan segala hal yang berkaitan dengan
pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair dalam menyajikan puisinya. Diksi
akan menggambarkan perasaan yang meletup-letup (semangat, optimisme, keyakinan,
dan gairah) atau sebaliknya, perasaan yang sendu (terluka, berduka, murung, dan
menderita) yang terdapat di dalam puisi. Singkat kata, diksi akan menggambarkan
bagaimana perasaan pengarangnya di dalam menulis puisi.
Penggambaran tersebut dapat tercermin dari
bagaimana pengarang melakukan pelambangan dan versifikasi di dalam puisinya.
Pelambangan atau lambang di dalam puisi adalah penggantian suatu hal dengan hal
lain (Waluyo, 2005: 4). Penggunaan lambang di dalampuisi akan memperkaya makna
dan merefleksikan pengalaman penulisnya secara lebih mendalam. Misalnya kata hujan dalam frasa hujan di matamu, maknanya tidak lagi air yang turun dari langit,
melainkan dapat dimaknai, air mata, kesedihan, kesenduan, kesembaban, dan
lain-lain.
Selanjutnya, versifikasi. Versifikasi berkaitan
dengan bunyi dan rima. Bunyi bahasa terbagi menjadi dua, eufoni dan kakofoni.
Eufoni merupakan kombinasi bunyi yang merdu sehingga ketika puisi itu dibacakan
akan enak untuk didengar. Kombinasi yang merdu memunculkan perasaan rindu, cinta
kasih, dan segala sesuatu yang menggambarkan keindahan. Kakofoni merupakan
kombinasi bunyi yang terdengar kacau sehingga bila dibacakan tidak enak untuk
didengar. Kombinasi bunyi merefleksikan perasaan yang liar, kacau, rusuh, dan
lian-lain.
Irama merupakan naik-turunnya bunyi bahasa yang
teratur. Berdasarkan keteraturan naik-turunnya bunyi ini, Pradopo (2009: 40),
membaginy menjadi dua, metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap
berdasarkan pola yang terstruktur. Kestrukturan pola tersebut ditandai dengan
jumlah suku kata dan tekanannya yang tetap sehingga menghasilkan alun suara
yang juga tetap. Ritme adalah irama yang muncul akibat pergantian tinggi rendah
secara teratur namun jumlah suku katanya tak teratur.
c.
Kata Konkret
Kata konkret dalam puisi adalah kata-kata yang
mampu digambarkan secara konkret oleh pikiran pembaca saat membaca sebuah
puisi. Kata-kata kongkret memungkinkan pembaca menghidupkan pancainderanya,
sehingga ketika membaca puisi seorang pembaca seakan-akan dapat melihat,
mendengar, mencium, meraba, dan mencecap gagasan yang ada di dalam puisi.
Misalnya dalam puisi Salemba karya
Taufiq Ismail, kata-kata konkret yang ada di dalam bait Anakmu yang berani/Telah
tersungkur ke bumi/Ketika melawan tirani membuat pembaca seakan melihat
seorang mahasiswa yang gagah berani rela mati setelah tertembak peluru tentara
saat berdemonstrasi melawan tirani atau kekuasaan.
d.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa menurut Sudjiman mencakup diksi atau
pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra
terdapat dalam karya sastra (1993: 13). Berdasarkan hal tersebut, maka gaya
bahasa tidak semata-mata persoalan penggunaan bahasa kiasan di dalam puisi,
namun juga mencakup aspek-aspek lain seperti citraan, rima, dan struktur
kalimat. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Keraf (1987: 116) yang
menyatakan empat jenis penggunaan gaya bahasa, yaitu, gaya bahasa berdasarkan
pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana,
gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, dan gaya
bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.
Tarigan (1990: 117) membagi gaya bahasa menjadi
empat jenis yakni, majas perbandingan, majas pertentangan, majas penegasan, dan
majas perulangan. Keempat jenis majas ini kemudian terbagi kembali menjadi
beberapa bagian, yaitu majas perbandingan terdiri dari perumpamaan, kiasan,
penginsanan, alegori, dan antitesis. Majas pertentangan terdiri dari hiperbola,
litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, dan zeugma. Majas penegasan
terdiri dari metonimia, sinekdoke, alusi, eufimisme, elipsis, inversi, dan
gradasi. Majas perulangan terdiri dari aliterasi, antanaklasis, kiasmus, dan
repetisi.
Berbeda dengan Tarigan, Pradopo menyebut gaya
bahasa sebagai sarana retorika (2009: 93). Sarana retorika merupakan ekspresi
pengarang yang bersifat individual. Gaya bahasa pengarang mengungkapkan sesuatu
memang berbeda-beda. Ekspresi tersebut ditunjukkan dengan penggunaan berbagai
perangkat bahasa kias. Dalam hal ini Pradopo membagi gaya bahasa menjadi tujuh,
terdiri dari perbandingan, metafora, perumpamaan epos, alegori, personifikasi,
metonimia, dan sinekdoki (2009: 62).
e.
Perbandingan
Perbandingan merupakan bahasa yang membandingkan
satu hal dengan hal yang lain dengan menggunakan kata-kata pembanding. Kata-kata pembanding tersebut
contohnya seperti, seumpama, serupa, bagaikan, bak, laksana, seumpama, adalah,
ialah, layaknya, serta kata-kata pembanding lainnya.
Jenis gaya bahasa ini sering digunakan oleh
banyak penyair Indonesia. Penggunaan yang mudah menjadi alasan para penyair
menggunakan gaya bahasa ini. Karena sering digunakan pula, penggunaan gaya
bahasa perbandingan sering digunakan sebagai salah satu materi pengembangan
kemampuan puisi siswa/mahasiswa. Perhatikan puisi Abdul Hadi WM berjudul Tuhan, Kita Begitu Dekat (2006: 101) berikut ini,
Tuhan,
Kita Begitu Dekat
Karya Abdul Hadi WM
Tuhan,
Kita begitu dekat.
Sebagai api dengan panas.
Aku panas dalam apimu.
Tuhan,
Kita begitu dekat.
Seperti kain dengan kapas.
Aku kapas dalam kainmu.
Tuhan,
Kita begitu dekat.
Seperti angin dan arahnya.
Kita begitu dekat.
Dalam gelap
Kini aku nyala
Pada lampu padammu.
Dalam puisi tersebut, kata-kata pembanding yang
digunakan oleh Abdul Hadi WM adalah sebagai dan seperti. Pembandingan tersebut
tampak mendalam dan penuh dengan perenungan sehingga banyak peneliti yang
menelaah puisi ini dalam tinjauan sastra sufistik.
f.
Metafora
Metafora merupakan jenis gaya bahasa yang
melakukan perbandingan antara satu hal dengan hal lainnya tanpa menggunakan
kata-kata pembanding. Dalam kata lain, metafora mirip dengan perbandingan.
Bedanya, metafora tidak menggunakan kata-kata pembanding.
Jenis metafora ini sering ditandai dengan
penggunaan kata benda untuk menggantikan kata-kata sifat. Misalnya, dalam puisi
Sutardji Calzoum Bachri. Kata-kata sifat diganti oleh kata-kata benda sehingga
kata-kata benda tersebut menjadi pembanding bagi sifat-sifat yang melekat pada
benda tersebut. Perhatikan contohnya berikut ini,
Solitude
Karya Sutardji Calzoum Bachri
Yang paling mawar
Yang paling duri
Yang paling sayap
Yang paling bumi
Yang paling pisau
Yang paling risau
Yang paling nancap
Yang paling dekap
Samping yang paling
Kau!
Pada puisi di atas terlihat bagaimana kata mawar
menjadi pembanding untuk kata sifat indah atau sesuatu yang mekar atau sesuatu
yang merah membara. Sementara dibaris kedua kata duri dapat menjadi pembanding
bagi kata sesuatu yang paling melukai atau yang membuat sakit atau yang paling
tajam. Hal yang sama terjadi untuk kata sayap, bumi, dan pisau pada baris-baris
berikutnya.
g.
Perumpamaan Epos
Perumpamaan epos merupakan jenis perumpamaan
yang melakukan perbandingan dengan mendeskripsikan atau menarasikan secara lebih mendetail. Detail
yang disampaikan dapat berupa kalimat atau frase yang menunjukkan sifat, ciri,
atau ciri khas lainnya yang memperkuat
gagasan yang dibandingkannya. Perbandingan ini dapat ditemui dalam bebapa puisi
berikut,
Kusebut
Namamu
Karya Syarif Hidayatullah
Kusebut namamu sebagai cinta
ketika kamu sebermula mengalamatkan rindu seperti berdetak-detak jemari
angka
tak akan lupa pada lekuk tubuh tanda satu
Kusebut namamu sebagai cinta
ketika
kamu sebermula mengalamatkan cemburu seumpama berjelata bulan dalam cahaya
meminta matahari tak segera lahirkan subuh
Dalam puisi di atas, perumpamaan epos terletak pada bait ketiga dan
keempat pada masing-masing bait. Perumpamaan epos di bait pertama membandingkan
kerinduan dengan bagaimana cara jarum jam berputar. Di bait kedua, perumpamaan
epos membandingkan perasaan cemburu dengan bagaimana cemburunya bulan pada
matahari.
h.
Alegori
Alegori merupakan jenis gaya bahasa yang berbentuk cerita kiasan. Cerita
kiasan ini menarasikan sesuatu untuk membandingkan kejadian yang lain. Dalam
puisi Rendra berikut ini terlihat bagaimana cerita tentang terbitnya bulan
dibandingkan dengan sesuatu yang lain, yang dalam hal ini menjadi babu yang
diperkosa majikannya serta menjadi pelacur yang ditangkap oleh aparat keamanan.
Perhatikan puisi Sajak Bulan Purnama
berikut ini,
Sajak
Bulan Purnama
Karya WS Rendra
Bulan terbit dari lautan.
Rambutnya yang tergerai ia kibaskan.
Dan menjelang malam,
wajahnya yang bundar,
menyinari
gubug-gubug kaum gelandangan kota Jakarta.
Langit sangat cerah.
Para pencuri bermain gitar.
dan kaum pelacur naik penghasilannya.
Malam yang permai
anugerah bagi sopir taksi.
Pertanda nasib baik
bagi tukang kopi di kaki limaBulan purnama duduk di sanggul babu.
Dan cahayanya yang kemilau membuat tuannya gemetaran.
“kemari, kamu !” kata tuannya “Tidak, tuan, aku takut nyonya !” Karena
sudah penasaran, oleh cahaya rembulan,
maka tuannya bertindak masuk dapur dan langsung menerkamnya
Bulan purnama raya masuk ke perut babu.
Lalu naik ke ubun-ubun menjadi mimpi yang gemilang. Menjelang pukul dua,
rembulan turun di jalan raya, dengan rok satin putih,
dan parfum yang tajam baunya. Ia disambar petugas keamanan, lalu
disuguhkan pada tamu negara yang haus akan hiburan.
i.
Personifikasi
Personifikasi merupakan jenis gaya bahasa yang
membandingkan benda-benda mati seakan-akan memiliki daya hidup seperti manusia.
Jenis personifikasi mudah ditemui dalam berbagai angkatan kesusastraan
Indonesia. Berikut ini contoh puisi
Faisal Syahreza berjudul Di Lengan Pagi.
Di
Lengan Pagi
Karya Faisal Syahreza
di lengan pagi
seorang penyair tak jadi menulis puisi. kata-katanya mendahuluinya minum
kopi duduk santai sehabis asyik mengitari taman dengan berlari-lari.
di lengan pagi
seorang penyair tak sempat menulis puisi.
kata-katanya enggan lagi bersaksi
setelah kehabisan tenaga mencuci ingatan
dan lagi-lagi, hanya mampu
tercatatkan gumannya tentang kesepian.
lalu apa lagi coba yang bisa dibagikan?
Dalam puisi di atas, kata pagi menjadi
personfikasi setelah diberi kata lengan, menjadi lengan pagi. Tentu saja yang
mempunyai lengan hanya manusia. Selanjutnya, kata-kata melakukan aktivitas
minum kopi, duduk santai, lari pagi, dan mencuci ingatan. Tentu saja kata-kata
di dalam puisi tersebut menjadi personifikasi karena melakukan kegiatan yang
umum dilakukanmanusia. Penggunaan gaya bahasa personifikasi saat ini bahkan
tidak lagi menjadi bagian dari baris atau bait puisi, seperti di atas, namun
mengunakan personifikasi secara keseluruhan pada puisi-puisinya. Perhatikan
puisi Hikayat Sekepal Batu karya Hasan Al Banna berikut ini,
Hikayat Sekepal Batu
Karya Hasan Al Banna
1
aku serahkan diriku bagi dinding agar rumah tak
mudah miring
aku hadiahkan raga-jiwaku bagi pematung demi
karya yang maha agung
aku benamkan diriku ke dasar sungai
agar ikan-ikan tak menggelepar di didih gulai
aku bentangkan dada-pundakku di tengah samudera
agar ombak tak sembarang mengirim prahara
2
tapi setinggi-tinggi aku berdiri
mengapa cuma jadi penggalah mangga bagi pencuri
sejauh-jauh aku melayang
mengapa kaca jendela yang benderangsetajam-tajam
aku menukik
pelipis siapa itu yang tertakik
sekuat-kuat aku menahan beban mengapa hanya
untuk pengganjal ban
3
ei, jangan coba-coba menaruhku dalam kepalamu kalau tak sedia dimusuhi
orang tua
jangan
sekali-sekali menanamku di kedalaman hatimu jika tak berkenan hidup di kampung
macan
Puisi di atas menggambarkan aku lirik sebagai
sebuah batu yang seakan-akan bermonolog dengan menyampaikan suka-duka yang
dialami aku lirik saat melengkapi kehidupan manusia. Berdasarkan hal tersebut,
maka majas personifikasi tersebut disampaikan secara keseluruhan puisi.
3.1.1.4.6 Metonimia
Metonimia
merupakan jenis gaya bahasa yang menggunakan nama ciri atau hal yang ditautkan
dengan orang, barang, atau hal lain sebagai gantinya. Intensitas
penggunaan metonimia memang lebih sedikit
dibandingkan dengan lima gaya bahasa di atas. Namun, bukan berarti tidak ada
penyair yang menggunakan majasmetonimia di dalam puisinya. Misalnya pada
petikan puisi WS Rendra berikut ini,
Sajak
Sebatang Lisong
Karya WS Rendra
...
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet, dan
papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan. ...
Dalam puisi
di atas meja kekuasaan merupakan bentuk metonimia dari pemerintah. Sementara
papantulis-papantulis para pendidik merupakan metonimia dari kurikulum atau
kegiatan belajar mengajar.
3.1.1.4.7 Sinekdoki
Sinekdoki merupakan gaya bahasa yang
menyampaikan suatu bagian yang dianggap penciri dari bagian tersebut untuk
menyatakan suatu hal atau benda tersebut. Sinekdoki ini terbagi menjadi dua,
yaitu pars pro toto dan totum pro parte.
Pars pro toto digunakan untuk menyatakan
sebagian yang bermakna keseluruhan. Sebaliknya, totum pro parte digunakan untuk menyatakan keseluruhan yang
bermakna sebagian.
Dalam puisi jenis pars pro toto dapat dilihat dalam penggalan puisi karya Jimmy S.
Johansyah berjudul Kisah Kunang-kunang berikut ini,
Kisah
Kunang-kunang
Karya Jimmy S. Johansyah
Kunang-kunang itu telah
lepas
dari mata malam
lalu terbang
bersama beban cinta dan
geletar semangat bumi di sayapnya.
...
Dalam penggalan puisi di atas pars pro toto terlihat pada kata mata malam yang dimaksudkan malam secara
keseluruhan. Untuk totum pro parte
terlihat pada kata bumi untuk
menyebut bagian dari bumi. Dalam konteks puisi
di atas adalah angin.
3.1.1.5 Citraan
Citraan atau disebut juga pengimajian menurut
Waluyo adalah susunan kata-kata yang memperkonkret puisi yang ditulis penyair
(2005: 10). Lebih lanjut Hikmat, dkk (2016: 37) citraan erat kaitannya dengan
pancaindera yang terdiri dari penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan,
dan pencecapan. Pradopo menambahkandengan citraan gerak (2009: 87). Berdasarkan
pemaparan tersebut, maka citraan dapat dibagi menjadi enam, yaitu citraan
penglihatan, citraan pendengaran, citraan penciuman, citraan perabaan, citraan
pencecapan, dan citraan gerak.
3.1.1.5.1
Citraan Penglihatan
Citraan penglihatan merupakan jenis citraan yang
merangsang indera penglihatan pembaca seolah-olah ketika membaca sebuah puisi,
pembaca seperti melihat suatu peristiwa atau kejadian. Perhatikan puisi-puisi
berikut ini,
Gugur
Karya WS Rendra
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannyaBagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya di
antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya Belumlagi selusin tindak mautpun
menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya ia berkata :
"
Yang berasal
dari tanah kembali rebah pada tanah. Dan aku pun berasal dari tanah tanah
Ambarawa yang kucinta Kita bukanlah anak jadah Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah. Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang."
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata : "Lihatlah, hari telah fajar ! Wahai
bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak di bumi tempatku berkubur kemudian akan ditanamnya
benih dan tumbuh dengan subur Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!"
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya
Dalam puisi Gugur
tersebut pembaca seolah melihat bagaimana perjuangan seorang prajurit yang
gugur di medan peperangan saat ia harus mengusir tentara penjajah. Sebelum
gugur ia dengan luka tembaknya tetap
merangkak sambil lalu melihat musuhnya pergi
meninggalkan kotanya.
3.1.1.5.2
Citraan Pendengaran
Citraan pendengaran adalah jenis citraan yang merangsang
indera pendengaran pembaca seolah-olah ketika membaca sebuah puisi, pembaca
seperti mendengar suara-suara yang memekik, mendenting, memekak, menggedor,
meledak, dan berbagai jenis suara lainnya. Perhatikan contoh berikut ini,
Cara Membunuh Burung Karya Sapardi Djoko Damono
bagaimanakah cara membunuh burung yang suka
berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita belum
dilahirkan itu? soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau
setiap pagi meloncat dari cahaya ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu (ah
dunia di antara bingkai jendela!)
soalnya
ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian soalnya ia
baka
Dalam puisi Sapardi di atas, citraan pendengaran
terasa pada kata-kata berkukuk,
teng-teng, dan berkicauBunyi-bunyian
tersebut menjadi instrumen penting dalam membangun puisi tersebut.
3.1.1.5.3
Citraan Penciuman
Citraan penciuman merupakan jenis citraan yang
merangsang indera penciuman pembaca seolah-olah ketika membaca sebuah puisi,
pembaca seperti mencium bebauan atau wewangian tertentu. Dalam puisi Izinkan Aku Menghirup Wangi Tubuhmu karya Husnul Khuluqi (2006: 41) berikut ini,
Izinkan Aku Menghirup Wangi Tubuhmu Karya Husnul Khuluqi
bila masih mungkin
aku duduk di sisimu
izinkan aku menghirup
wangi tubuhmu
bila masih mungkin
aku menatap lembut wajahmu izinkanlah aku mengabadikannya di kanvas
batinku
bila masih mungkin
aku malayari lautan kalbumu
izinkanlah aku berteduh
dalam sejuk kasihmuDalam puisi tersebut terlihat
kata wangi pada akhir bait pertama
yang merangsang indra penciuman pembaca seakan-akan pembaca turut mencium wangi
tubuh.
3.1.1.5.4
Citraan Perabaan
Citraan perabaan merupakan jenis citraan yang
merangsang indera perabaan pembaca seolah-olah ketika membaca sebuah puisi,
pembaca seperti merasakan lembut, kasar, halus, mulus, dan berbagai jenis
tekstur lainnya. Perhatikan puisi Tak
Bisa Kulupakan karya Rendra berikut ini,
Tak
Bisa Kulupakan
Karya Rendra
Tak bisa kulupakan hutan, tak bisa kulupakan sedapnya daun gugur,
lembutnya lumut cendawan
Tak bisa kulupakan hutan, tak bisa kulupakan muramnya kasih gugur,
lembutnya kucup penghabisan
Tak bisa kulupakan hutan, tak bisa kulupakan
muramnya senyum hancur, lembutnya kubur ketiduran
Tak bisa kulupakan hutan, tak bisa kulupakan meski ditikam dalam-dalam,
tak bisa kulupakan
Puisi Rendra
tersebut menghidupkan indera perabaan dengan kata lembut yang diulang sebanyak
tiga kali di dalam puisi tersebut untuk menegaskan sesuatu yang berbeda.
3.1.1.5.5
Citraan Pencecapan
Citraan pencecapan merupakan jenis citraan yang
merangsang indera pencecapan pembaca seolah-olah ketika membaca sebuah puisi,
pembaca seperti mencecap rasa manis, gurih, asam, asin, pahit, getir, dan aneka
rasa lainnya. Berikut ini salah satu petikan puisi yang berisi citraan
pencecapan dari puisi Kamil Dayasawa berjudul Madura,
Madura
Karya Kamil Dayasawa
Manis
air susumu terus kucecap meski telah lama aku minggat
Jauh dari reak selat, tak menyaksikan
sampan-sampan tertambat
seperti dulu di pangkuanmu,
aku suka menghitung banyak layar berkibar
Pelaut datang dan pulang memanggul payang
nenek
moyangPuisi di atas menggambarkan bagaimana kata manis air susu mampu
merangsang indera pencecapan pembaca. Pembaca dapat membayangkan bagaimana rasa
manis segalas susu.
3.1.1.5.6
Citraan Gerak
Citraan gerak merupakan jenis citraan yang
mendeskripsikan suatu benda yang sejatinya tak bergerak, namun dilukiskan
seolah-olah bergerak atau dapat juga sesuatu yang memang benar-benar bergerak.
Perhatikan puisi berikut ini,
Kopi
Karya Hidayat Raharja
Sepekat malam tubuhmu mengental dalam gelas
percakapan. Pekat rasa pahit di lidah, menuruni bukit-bukit miring di
ketinggian malam. Kebun-kebun lebat yang dipenuhi gemintang dan sepenggal bulan
mengintip dari balik bukit.
Kepulan asap menari, tarian angin menyusuri
cecelah dan lembah. Guguran embun dini membasahi kerongkongan pagi, lunasi haus
dan pedih. Dua bola matamu terbit dari mulut gelas berjaga di tebing
waktu.Cairan bergerak menyusuri selokan waktu yang mampat, membisingkan bangun
ibu dipagi itu, menjerang air di atas tungku. Sendokan gula dan bubukan pekat
teraduk dalam pualam hati ibu, yang takkan pernah kaupaham makna pahit dan
kelam yang ibu jeram.
Didih air tertuang menyusupi geronggang bubukan,
membunuh kuman seteru dan mengepulkan rindu.
Dalam puisi
berjudul Kopi karya Hidayat Raharja
terdapat citraan gerak pada frasa sepenggal
bulan mengintip dari balik bukit,
kepulan asap menari, tarian angin, dan
guguran embun.
3.1.2 Struktur Batin
3.1.2.1
Tema
Tema adalah gagasan pokok penulis tentang suatu
objek yang ditulisnya. Tema berangkat dari pergelutan penyair terhadap
lingkungan sekitarnya. Penulisan tema tertentu pada periode tertentu
menunjukkan bahwa situasi sangat mempengaruhi ekspresi penyair dalam menulis
puisinya. Dalam tahun-tahun merebut kemerdekaan, Chairil Anwar yang romantis
membuat sajak-sajak cinta, terutama pada puisi Cintaku Jauh di Pulau, kemudian perjuangan mengubah tema-tema puisinya menjadi puisi-puisi
tentang merebut kemerdekaan, seperti puisi Karawang-Bekasi
dan Diponegoro.
3.1.2.2 Nada
Menurut Hikmat, dkk. (2016) nada adalah ekspresi
afektif penyair terhadap pembacanya. Yang dimaksud dengan ekspreksi afektif
adalah sikap penyair terhadap pembacanya seperti apa di dalam puisi yang
ditulisnya. Beberapa penyair menempatkan dirinya di hadapan pembacanya dengan
beragam sikap. Ada yang memandang pembacanya dengan sikap yang bersahabat,
penuh perhatian, ada pula yang memandang pembacanya dengan nada angkuh,
perhatikan puisi karya Rendra berjudul Sajak
Matahari berikut ini,
Sajak
Matahari
Karya WS Rendra
Matahari bangkit dari sanubariku. Menyentuh permukaan samodra raya.
Matahari keluar dari mulutku, menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu keluar dari jidatku, wahai kamu, wanita miskin ! kakimu terbenam
di dalam lumpur.
Kamu harapkan beras seperempat gantang,dan di
tengah sawah tuan tanah menanammu !
Satu juta lelaki gundul keluar dari hutan belantara, tubuh mereka
terbalut lumpur dan kepala mereka berkilatan memantulkan cahaya matahari. Mata
mereka menyala
tubuh mereka menjadi bara dan mereka membakar dunia.
Matahari adalah cakra jingga
yang dilepas tangan Sang Krishna. Ia menjadi
rahmat dan kutukanmu, ya, umat manusia !
Dalam puisi tersebut, WS Rendra tampak sangat
angkuh pada bait kedua dengan menyebut Wajahmu
keluar dari jidatku/wahai kamu, wanita
miskin! Dalam dua baris sajak ini
terlihat keangkuhan Rendra memandang pembaca sebagai wanita miskin.
3.1.2.3 Suasana
Suasana merupakan kondisi secara psikologis yang
terdapat di dalam puisi dan dirasakan oleh pembaca saat membaca puisi tersebut.
Suasana dibangun oleh penyair agar pembaca mampu merasakan apa yang dirasakan
oleh penyair ketika menulis puisi tersebut. Oleh karena itu,
puisi kadang dapat membangkitkan semangat para
pendemo ketika isi puisi tersebut menunjukkan kata-kata yang penuh tenaga dan
berapi-api. Sebaliknya, seseorang merasa dimabuk asmara dan penuh rasa cinta
ketika membaca puisi-puisi dengan suasana suka cita dalam cinta sebagaimana
tampak perasaan tersebut pada puisi Aku
Ingin karya Sapardi Djoko Damono berikut ini,
Aku
Ingin
Karya Sapardi Djoko Damono
Aku
ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan
isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
3.1.2.4 Amanat
Amanat adalah pesan atau maksud yang hendak disampaikan seorang penyair
kepada pembacanya. Beberapa pesan dapat ditangkap dengan mudah oleh pembacanya,
terlebih jika diksi yang digunakan mudah dipahami sehingga pembaca tak telalu
sulit menerjemahkan diksinya. Sebaliknya, amanat bisa jadi akan sangat sulit
diambil pesannya jika kata-kata di dalam puisi tersebut penuh dengan gaya
bahasa, sehingga untuk menggali amanatnya, terlebih dahulu harusmenginterpretasi
gaya bahasa yang digunakan penyairnya.
Di dalam
menyampaikan amanat ini, penyair biasanya mengungkapkan pesan-pesan edukatif,
religius, moral, dan lain-lain. Meski pesan-pesan tersebut disampaikan kepada
pembacanya, namun kadang pembacanya tidak merasa digurui atau diceramahi. Hal
inilah yang membedakan puisi dengan teks pidato yang cendrung argumentatif,
ekspositif, dan persuasif.
3.2 Rangkuman
Struktur
puisi merupakan unsur-unsur yang terdapat di dalam puisi. Struktur puisi secara
garis besar terbagi menjadi dua, yaitu struktur fisik dan struktur batin.
Struktur fisik mencakup wujud puisi, diksi, kata kongkret, gaya bahasa, dan
citraan. Struktur batin puisi mencakup tema, nada, suasana, dan amanat.
Daftar
Pustaka
Gorys Keraf. 1987. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta:
Gramedia.
Hikmat, Ade, Nani Solihati, dan Syarif
Hidayatullah. 2016.
Teori
Sastra: Pengantar Kesusastraan Indonesia.
Jakarta: Uhamka Press.
Panuti Sudjiman. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Pradopo, Rahmat Djoko. 2009. Pengkajian
Puisi.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Cet.
11.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar